Senin, 02 Desember 2019

Harmoni Gamelan dan Musik Kekinian dalam ROAR GAMA 4.0


Jika biasanya gamelan hanya bisa disaksikan pada acara kebudayaan atau momentum sakral di Keraton, kini kita bisa menyaksikannya beradu dan berpadu dengan musik kontemporer. Satu panggung, dalam sebuah Pagelaran Kolosal Gamelan "Rhapsody of the Archipelago: Gamelan 4.0" pada Sabtu malam (30/11) di Lapangan Grha Sabha Pramana UGM.

Tari Kangen arahan Pulung Jati Rangga Murti.
Tari Kangen oleh Pulung Dance Studio membuka ROAR GAMA 4.0


Penyerahan penghargaan “Lifetime Achievement Award ROAR GAMA 4.0.” kepada putri Empu Triwiguna.
Bersamaan dengan perayaan Lustrum UGM yang ke-14 dan Dies Fisipol UGM ke-64, Fisipol UGM dan Fakultas Ilmu Budaya UGM bekerja sama menyelenggarakan ROAR GAMA 4.0. Acara tersebut sebagai wujud pengembangan gamelan agar lebih inovatif tanpa menghilangkan ciri khas dari gamelan selama ini. Selain itu, ROAR GAMA 4.0 juga menjadi bukti bahwa musik gamelan bisa berdampingan bahkan melebur dengan musik kontemporer.

“Ketika gamelan ada di pasaran, mungkin akan ada pemilih atau penikmat. Harapannya kedepan ROAR GAMA 4.0 semakin membuka kesempatan bagi musik tradisional untuk terus berkembang dan berkolaborasi dengan musik zaman sekarang”, ujar Ari Wulu selaku penghulu komunitas Gayam16.

Helatan ROAR GAMA 4.0 didukung oleh sejumlah grup musik, musisi, pengrawit, dan penari. Adalah Mantra Vutura, Tashoora, FSTVLST, Letto, dan OM New Pallapa bersama Brodin yang ditunjuk sebagai duta musik masa kini dalam Pagelaran Kolosal Gamelan Rhapsody of the Archipelago: Gamelan 4.0. Hujan deras tak menyurutkan semangat ribuan penonton, baik dari kalangan UGM maupun umum, untuk menyaksikan harmoni gamelan dengan grup musik kesayangan masing-masing.

“Empat band sebelumnya masing-masing melambangkan perihal yang berbeda. Misalnya Mantra Vutura, grup musik elektronik dari Jakarta, mencerminkan mimpi, harapan, dan masa depan. Kalau mimpi dan harapan ini biasanya ditujukan kepada bayi yang baru lahir, kepada mereka yang masih bermimpi, maka Tashoora melambangkan remaja. Masih cemas, mengkritik sana-sini. Lalu kemudian FSTVLST, masih muda tapi beringas, punya tekad, dan harapan akan masa depan. Letto melambangkan ketenangan, tenteram, sesuai dengan karakter Sabrang ‘Noe’ Letto. Yang terakhir, ditutup oleh OM New Pallapa, karena hidup butuh dirayakan”, jelas Ari Wulu.


Sang konduktor repertoar ROAR GAMA 4.0 
Sesuai tema, ROAR GAMA 4.0 diperkuat oleh tiga komposer muda yang mengarahkan orkestrasi ROAR GAMA 4.0 selama acara. Baik Sudaryanto, Welly Hendratmoko, maupun Anon Suneko, ketiganya berhasil menyajikan masterpiece gamelan yang dipadu gitar listrik dan musik elektronik. Aksi 100 pengrawit dari Canda Nada, Gayam16, Sospolaras, Gamasutra, dan Prawiratama Indonesia pun luar biasa apik. Mereka tetap teguh memukul bonang, saron dan gending meski diguyur hujan sedari awal sampai akhir acara. 

Tari Panggayuh yang diiringi komposer Sudaryanto. 

Sang Penari Pulung Dance Studio.

Tak ketinggalan pentas tari dari 100 penari Pulung Dance Studio dengan arahan koreografer Pulung Jati Rangga Murti. Enerjik. Apik. Gerak tubuh para penari semakin mewarnai Pagelaran Kolosal Gamelan "Rhapsody of the Archipelago: Gamelan 4.0" tahun pertama ini. 
Total ada tiga tarian yang ditampilkan antara lain Tari Kangen oleh Pulung Dance Studio sebagai pembuka ROAR GAMA 4.0. Kemudian Tari Panggayuh yang diiringi komposer Sudaryanto dan Tari Nuswantoro dengan iringan musik SaronGROOVE.

Human

Siap dimantra Mantra Vutura

Mantra Vutura, grup musik elektronik asal Jakarta menyihir ribuan penonton ROAR GAMA 4.0 dengan keunikan musiknya. Diiringi gamelan, Mantra Vutura menguatkan aura magisnya lewat lagu “The Creation, Pt.3” dan “Human” dari album terbaru Mantra Vutura bertajuk sama, kemudian “The Creation, Pt.1”, “The Creation, Pt.2”, dan terakhir “Un Deux Trois” yang semuanya terangkum dalam album Solar Labyrinth (2017). Melambangkan mimpi dan harapan, kreasi musik Mantra Vutura memantrai saya untuk menatap masa depan dengan semangat kebebasan.


Lautan Pendekar Tashoora

Jaring Cahaya bersama gamelan dan Tashoora

Berani Bela Gelapnya?

Pagelaran dilanjutkan dengan penampilan Tashoora. Lewat Hamba Jaring Cahaya, Hamba Bela Gelapnya, Tashoora mengajak para Pendekar Tashoora untuk menolak lupa pada ketidakadilan di sekitar kita. Total lima lagu dibawakan, antara lain “Tatap”, “Sabda”, “Hitam”, “Nista”, dan “Terang” yang ditulis bersama Baskara Putra, sosok dibalik Hindia. Setiap lagu Tashoora diciptakan sebagai respon terhadap peristiwa yang acap luput dari perhatian masyarakat. 


"Semuanya!"

Para pengrawit dan rebananya.

"Lagu untuk teman-teman yang kebaikannya belum disambut, Sampai Nanti Sampai Mati."
Letto hadir bak hujan membasahi bumi. Tanah Lapangan Grha Sabha Pramana basah selepas gerimis di pembukaan ROAR GAMA 4.0, begitu juga pipi dan hati para pendengar setia Letto. Apalagi ketika intro “Sandaran Hati”, “Sampai Nanti, Sampai Mati”, “Permintaan Hati”, “Sebelum Cahaya”, dan “Ruang Rindu”  berbunyi, sontak penonton ikut bernyanyi. Bukan main penampilan Letto kali ini, alunan gamelan dan nuansa sakral yang kental mengiringi Letto sampai akhir. Vokalis Letto Sabrang Mowo Damar Panuluh atau akrab disapa Noe Letto pun menyisipkan Langgam Jawa ke dalam nyanyiannya. Itulah gong dari repertoar ROAR GAMA 4.0, menyatukan seni budaya dan hit terbaik pada masanya.

Seperti Cinderella yang harus rela melewatkan dansa terakhir sebelum jampi-jampi Ibu Peri terhadapnya hilang, saya harus pulang sebelum jam 12 malam. Dan ya, saya tak sempat menyaksikan langsung aksi panggung FSTVLST maupun berjoget dengan iringan OM New Pallapa. Tidak apa, saya sudah cukup puas menjadi satu diantara ribuan pengunjung ROAR GAMA 4.0 yang bersuka cita di malam minggu meski kehujanan.

Saya sangat mengantisipasi ide-ide cemerlang para tokoh di balik Rhapsody of the Archipelago: Gamelan 4.0. Barangkali, tahun depan akan diadakan gelaran serupa. Konsep, desain grafis, tata cahaya, dan bintang tamunya juara. Membawa misi politik dan budaya, ROAR GAMA 4.0 menjadi pionir Pagelaran Kolosal Gamelan di Yogyakarta. Syukur-syukur, bisa menjadi proyek percontohan bagi kota-kota lainnya bahkan negara-negara tetangga. Jika musik bersifat universal dan mampu meleburkan perbedaan, maka musik tradisional mampu menguatkan akar budaya dan jati diri kita.
Suka cita para pengrawit mengiringi OM New Pallapa.

Pentatonis dan diatonis. Harmoni.

“Idenya adalah kita itu Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Bagaimana kekayaan budaya bisa kita sumbangkan untuk dunia dan untuk kemanusiaan? Kita tidak boleh menutup diri, tetapi bagaimana kebudayaan kita, seni budaya kita ini menjadi filter, menjadi core, kemudian diperkaya oleh seni budaya yang lain. Itulah gagasan dari Rhapsody of the Archipelago: Gamelan 4.0 atau alunan dari seluruh penjuru nusantara yang membuka diri terhadap dunia. Dengan cara seperti ini, tidak ada satu daerah pun yang tidak menjadi pemimpin bagi tampilnya seni-seni musik Indonesia”, pungkas Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UGM periode 2016 – 2021 sekaligus Menteri Sekretaris Negara periode 2019-2024 Pratikno.