Minggu, 05 Januari 2014

Mending Bakar Jadah, Daripada Sekolah!

Di suatu siang yang mendung, seorang penjual menjajakan jadah bakar di depan sebuah toko sepatu daerah Malioboro. Ia tersembunyi di antara kerumunan pengunjung Malioboro. Sembari duduk, Ia mengayunkan kipas untuk memanggang jadah bakar. Ia adalah Dadan Ramdani, perantau dari Singaparna, Jawa Barat yang berusia 30 tahun. Ia memulai usaha tersebut bersama kakak lelaki nya sejak tahun 2004 dan masih konsisten hingga sekarang. 

Profesi sebagai penjual jadah bakar adalah nasib yang Dadan Ramdani tentukan sendiri, karena sebenarnya Ia mampu melanjutkan pendidikan madrasah selepas SMP. Namun Ia lebih memilih mengais rezeki melalui usaha jadah bakar tersebut karena memang sudah bertekad ingin mandiri. Menurutnya, merantau dan berdagang memberikan keuntungan tersendiri baginya, sedangkan kehidupan sekolah adalah hal yang membebani karena harus mengerjakan PR dan berangkat pagi.

Usaha jadah bakar milik Dadan Ramdani termasuk sederhana dan mudah dalam proses produksi, sekaligus memberi keuntungan yang cukup untuk biaya sehari-hari. Karena dengan modal awal sebesar Rp 100.000,- untuk bahan baku berupa beras ketan, kelapa, dan arang, Ia mampu memperoleh omzet hingga dua kali lipat saat ramai pembeli. Pada hari biasa, omzet yang diperoleh hanya cukup untuk membeli bahan baku dalam proses produksi selanjutnya.

Sehari-hari Dadan berjualan di depan wilayah pertokoan di Malioboro, atau di lantai 2 Pasar Beringharjo. Lokasi berjualan tergantung padatnya pedagang di wilayah tersebut. Dengan pembawaan ramah dan penampilan sederhana menggunakan celana panjang dan kaos, Ia menjajakan dagangannya mulai pagi hingga malam hari, dan akan pulang lebih awal jika dagangan cepat habis.

Konsistensi dari usaha jadah bakar milik Dadan Ramdani menjadi kunci dalam memperoleh pelanggan tetap yang berasal dari berbagai wilayah di DIY dan sekitarnya. Terlebih saat liburan, dagangan jadah bakar selalu habis dibeli oleh para wisatawan dari luar DIY maupun lokal.

Karena tidak ingin kehilangan pelanggan, maka Dadan Ramdani memilih menetap di Yogyakarta, namun sesekali pulang ke kampung halamannya di Singaparna, Jawa Barat. Itu pun Ia lakukan hanya jika memiliki biaya transportasi yang cukup. Kondisi tersebut menyebabkan Ia harus meninggalkan seorang istri bernama Resni dan seorang anak yang masih berusia 7 bulan bernama Fajar. Namun sudah menjadi konsekuensi dari konsistensinya untuk menetap di Yogyakarta.

Berawal dari kondisi Dadan yang jauh dari keluarga, menjadikannya harus berjuang menafkahi keluarganya dengan usaha jadah bakar yang Ia kembangkan di Yogyakarta. Separuh dari penghasilan pun Ia berikan kepada keluarganya di Singaparna. Dengan begitu, Ia berharap mampu menghidupi keluarganya secara layak karena penghasilannya Ia peroleh melalui usaha yang halal.

Sabtu, 04 Januari 2014

MAPAGAMA Goes to Pussa Yan Cliff, China!

Belum pernah ada dalam catatan sejarah Indonesia, klub pecinta alam yang mengadakan ekspedisi bahkan mencapai puncak Tebing Pussa Yan, yang terletak di Getu National Park, Guizhou, China. Namun tim dari MAPAGAMA (Mahasiswa Pecinta Alam Gadjah Mada) berhasil melakukannya. Tim terdiri dari Aries Dwi Siswanto (dokumentasi), Priyantono Nugroho (official), Azizulhaq, Hamid, dan Dimas sebagai atlit pemanjat. Kegiatan panjat tebing tersebut berlangsung selama 4 hari, dalam rangka memperingati 40 tahun MAPAGAMA.

Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 5 hari. Mulai dari transit di Bandara Changi, Singapura selama 12 jam hingga tiba di Guizhou, China dan beristirahat di KBRI selama sehari. Lalu berlanjut menaiki kereta menuju Getu National Park selama 22 jam. Setelah menaiki kereta, tim mengalami kendala karena ternyata mereka melewati jalur yang lebih jauh sehingga harus membayar 2x lipat dari biaya awal yang hanya 66 yuan, serta menghabiskan waktu 2 hari. Belum lagi saat tim diusir oleh preman di wilayah Guizhou saat membangun tenda di terminal, namun beruntung saat polisi setempat menawarkan hotel gratis kepada tim.

Setiba di Pussa Yan, tim langsung melakukan ekspedisi. Azizulhaq (leader) memulai kegiatan panjat tebing dengan memasang pengaman di setiap ketinggian 1,5 meter dari total 180 meter. Tidak mudah memanjat tebing Pussa Yan karena karakteristiknya terdiri dari batuan karst. Menurut tim, kesulitan ada pada ketinggian 120 meter karena struktur tebing menjorok ke luar, hingga salah satu atlit pemanjat tebing cedera. Kesulitan lainnya adalah overhang dan scrimbling. Maka tim menggunakan teknik memanjat Himalayan Style, yaitu memanjat tebing yang masih terhubung dengan basecamp

Ekspedisi sempat terhenti selama sehari karena hujan deras, ditambah dengan situasi sekitar yang berkabut dengan suhu di bawah 10 derajat Celcius. Untuk mengantisipasinya, tim memakai pakaian hingga 4 lapis dan menghentakkan tangan ketika mulai terasa kebas karena kedinginan. Lalu dilanjutkan kembali keeseokan harinya bahkan hingga jam 8 malam. Para atlit beristirahat di tebing dengan cara menggantung di 7 pitch (rest area) yang tersebar di tebing Pussa Yan.

Salah satu peristiwa menarik dari ekspedisi adalah pengibaran bendera merah putih di puncak tebing oleh tim saat mencapai puncak pada malam hari. Lalu ketika ditawari menginap di salah satu rumah warga, terdapat kebiasaan unik yaitu mencuci kaki dengan air hangat. Dan karena mayoritas warga mengonsumsi daging babi, tim kesulitan memperoleh logistik namun akhirnya tim berhasil menemukan restoran muslim di Guizhou. Serta pertemuan dengan pemanjat tebing asal Meksiko.
'' Saya telah bertemu pemanjat tebing dari berbagai negara dan saya tidak menyangka bertemu dengan pemanjat tebing dari Indonesia yang semuanya mahasiswa. Semoga MAPAGAMA mampu menjadi tolok ukur pemanjat tebing standar Internasional se-Asia Tenggara. ''
Sebelumnya, MAPAGAMA memiliki agenda kegiatan arus deras (olahraga air), caving (menjelajah gua), dan etnophotography di Suku Dayak, Borneo, Kapuas Barat pada Maret 2013 lalu. Dan berlanjut kegiatan UGM International River Outbond di Nepal, yaitu menaiki kayak, serta memanjat Puncak Sergori, di Pegunungan Himalaya dengan ketinggian 5.000 meter pada bulan Mei 2013. Sekitar sebulan sebelum keberangkatan ke China pun tepatnya tanggal 28 September 2013-7 Oktober 2013, tim MAPAGAMA melakukan uji coba panjat tebing di Siung, Parangndog dan di wilayah Tontonan, Bambapuang, Tinore, Sulawesi Selatan.

Ekspedisi panjat tebing ke Pussa Yan merupakan salah satu tujuan MAPAGAMA untuk membuka jalur baru dengan metode artifisial karena Pussa Yan sudah memiliki jalur sport. Jalur artifisial, berarti memanjat menggunakan pengaman sementara sedangkan jalur sport, berati memanjat menggunakan pengaman permanen yang dipasang menggunakan bor. Tujuan selanjutnya adalah membentuk pemanjat tebing standar internasional, dan ekspedisi ke Tebing Josemith di Amerika dan Mount Blanc di Prancis.
'' Menjadi pecinta alam berawal dari hobi saya, dan dalam pecinta alam tidak hanya diajari ilmu teknis tetapi juga non teknis seperti manajemen dan penyelesaian masalah. ''
'' Kunci dari keberhaslan ekspedisi adalah ketepatan alat, karena kalo nggak pas ya gimana menyangkut nyawa juga, lalu yakin pada alam, hidup kita tergantung alam. Dan yang terpenting nikmati prosesnya! Justru kenikmatan dari manjat tebing ya waktu susah payah manjat tebing, bikin kangen dan pengen manjat tebing lagi..''
Ucap Aries Dwi Siswanto sembari tertawa lebar sekaligus menutup pertemuan kru KACA dengan perwakilan dari MAPAGAMA pada  Sabtu, 4 Januari 2014 di Kantor SKH Kedaulatan Rakyat.

Jumat, 03 Januari 2014

Mimpiku : Pergi ke Amerika, New York City!

Salah satu cerita dari seorang teman di KACA, Virgi. Berkeinginan untuk pergi menjelajah Amerika, terutama New York, untuk melanjutkan studi kuliah di UCLA (University of Callifornia, Los Angeles). Berangkat dari mimpi tersebut, Virgi mulai mencari informasi tentang program pertukaran pelajar. Hingga suatu hari Ia mendapat tawaran mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika, dan tinggal di rumah salah satu keluarga disana. Namun gagal, karena waktunya selama setahun, terlalu lama menurutnya. Otomatis harus mengulang sekolah selama setahun lagi, jadi orang tua Virgi tidak mengizinkan. Namun Ia tetap bertekad ingin menjelajah Amerika, New York City, suatu hari nanti.

Lalu baru-baru ini Ia mendapat informasi tentang adanya pertukaran pelajar ke Amerika, lagi. Tetapi lagi-lagi, gagal, karena waktu pendaftarannya bersamaan dengan saat Ia mengetahui informasi tersebut. Ya, mungkin suatu hari nanti Virgi akan menemukan 'jalan' untuk mewujudkan keinginannya tersebut, amin. Sama seperti keinginannya mempelajari Bahasa Prancis. Menurut cerita Virgi, dulu Ia ingin bersekolah di SMA N 7 YK, namun akhirnya Ia bersekolah di MAN I YK, dan justru disanalah Ia mampu memenuhi keinginannya untuk mempelajari Bahasa Prancis. Syukurlah, karena di SMA N 7 YK tidak terdapat pelajaran Bahasa Prancis. Setidaknya, Virgi telah mampu mewujudkan salah satu keinginnannya.

Cerita dari Virgi menginspirasi saya untuk bermimpi menjelajah dunia, pergi ke tempat-tempat yang belum pernah saya datangi, mempelajari budaya bangsa lain, dan memahami keindahan dari setiap wilayah, atau negara di berbagai belahan bumi ini. Dan sekarang, saya telah memiliki keinginan untuk....... Menjelajah Indonesia. Mengapa? Karena justru menurut saya, kita telah memiliki keindahan alam yang luar biasa, potensi yang besar dari segala bidang, hanya saja mungkin terdapat permasalahan klasik kemiskinan, ketidaksejahteraan rakyat, sumber daya manusia yang belum berkembang baik, pelestarian alam yang hanya sekedar wacana, dan pengelolaan objek wisata yang belum merata ke seluruh penjuru nusantara terutama daerah terpencil seperti misalnya hutan Kalimantan yang tidak kalah kaya dengan hutan hujan Amazon di Brazil. 

Dan masih banyak lagi jika ingin membahas tentang kekurangan negeri kita ini, tetapi kalau saja semua orang optimis dengan Indonesia, saya yakin, tidak perlu lah kita berbangga diri singgah di negeri orang asing, karena tinggal di Indonesia sudah menjadi kebanggaan tersendiri. Tetapi saya tidak mengelak jika berkeinginan mengelilingi dunia, terutama benua Eropa adalah hal yang menyenangkan, dan luar biasa saat sudah terwujud. Maka, saya juga mempunyai mimpi yang hampir dengan Virgi......

Menjelajah dunia, menikmati keindahan benua Eropa, wisata kuliner di benua Asia, memahami berbagai budaya di Timur Tengah, dan tentu saja, menikmati hingar bingar, panas tandus, dan kemegahan gedung-gedung pencakar langit di benua Amerika! 

Tentunya dengan predikat sebagai mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa, seorang traveler berpengalaman, seorang entrepreneur yang berkesempatan mengunjungi luar negeri, atau seorang jurnalis berprestasi yang mampu berkeliling dunia dengan berita. Bukan sebagai TKI, TKW, imigran gelap, atau korban kejahatan. Indonesia tidak semestinya dicap sebagai negara supplayer TKI, seharusnya, Indonesia-lah yang di-supplay tenaga kerja dari luar negeri. Semoga suatu saat nanti, saya bisa menjadi salah satu generasi muda yang bisa membanggakan Indonesia, di mata orang asing.