Di suatu siang yang mendung, seorang penjual menjajakan jadah bakar di depan sebuah toko sepatu daerah Malioboro. Ia tersembunyi di antara kerumunan pengunjung Malioboro. Sembari duduk, Ia mengayunkan kipas untuk memanggang jadah bakar. Ia adalah Dadan Ramdani, perantau dari Singaparna, Jawa Barat yang berusia 30 tahun. Ia memulai usaha tersebut bersama kakak lelaki nya sejak tahun 2004 dan masih konsisten hingga sekarang.
Profesi sebagai penjual jadah bakar adalah nasib yang Dadan Ramdani tentukan sendiri, karena sebenarnya Ia mampu melanjutkan pendidikan madrasah selepas SMP. Namun Ia lebih memilih mengais rezeki melalui usaha jadah bakar tersebut karena memang sudah bertekad ingin mandiri. Menurutnya, merantau dan berdagang memberikan keuntungan tersendiri baginya, sedangkan kehidupan sekolah adalah hal yang membebani karena harus mengerjakan PR dan berangkat pagi.
Usaha jadah bakar milik Dadan Ramdani termasuk sederhana dan mudah dalam proses produksi, sekaligus memberi keuntungan yang cukup untuk biaya sehari-hari. Karena dengan modal awal sebesar Rp 100.000,- untuk bahan baku berupa beras ketan, kelapa, dan arang, Ia mampu memperoleh omzet hingga dua kali lipat saat ramai pembeli. Pada hari biasa, omzet yang diperoleh hanya cukup untuk membeli bahan baku dalam proses produksi selanjutnya.
Sehari-hari Dadan berjualan di depan wilayah pertokoan di Malioboro, atau di lantai 2 Pasar Beringharjo. Lokasi berjualan tergantung padatnya pedagang di wilayah tersebut. Dengan pembawaan ramah dan penampilan sederhana menggunakan celana panjang dan kaos, Ia menjajakan dagangannya mulai pagi hingga malam hari, dan akan pulang lebih awal jika dagangan cepat habis.
Konsistensi dari usaha jadah bakar milik Dadan Ramdani menjadi kunci dalam memperoleh pelanggan tetap yang berasal dari berbagai wilayah di DIY dan sekitarnya. Terlebih saat liburan, dagangan jadah bakar selalu habis dibeli oleh para wisatawan dari luar DIY maupun lokal.
Karena tidak ingin kehilangan pelanggan, maka Dadan Ramdani memilih menetap di Yogyakarta, namun sesekali pulang ke kampung halamannya di Singaparna, Jawa Barat. Itu pun Ia lakukan hanya jika memiliki biaya transportasi yang cukup. Kondisi tersebut menyebabkan Ia harus meninggalkan seorang istri bernama Resni dan seorang anak yang masih berusia 7 bulan bernama Fajar. Namun sudah menjadi konsekuensi dari konsistensinya untuk menetap di Yogyakarta.
Berawal dari kondisi Dadan yang jauh dari keluarga, menjadikannya harus berjuang menafkahi keluarganya dengan usaha jadah bakar yang Ia kembangkan di Yogyakarta. Separuh dari penghasilan pun Ia berikan kepada keluarganya di Singaparna. Dengan begitu, Ia berharap mampu menghidupi keluarganya secara layak karena penghasilannya Ia peroleh melalui usaha yang halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar