Saya berkesempatan menonton penayangan perdana film Bumi Manusia pada tanggal 10 Agustus 2019 lalu di XXI Sleman City Hall, bersama Kagama Virtual, ikatan alumni UGM yang rutin menggelar nonton bareng film tanah air. Berbekal rasa ingin tahu yang besar dengan adaptasi buku pertama Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam layar lebar, saya menonton tanpa ekspektasi apapun terhadap film produksi Falcon Pictures ini. Terlebih, saya memosisikan diri sebagai penonton awam sekaligus anak muda yang asing dengan Tetralogi Pulau Buru. Sehingga, saya hanya akan menceritakan pengalaman menonton film dan pesan-pesan yang berhasil saya bawa pulang setelah 3 jam duduk manis menyimak tangis Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies.
Lupakan perdebatan tentang Iqbaal yang jauh dari bayangan untuk memerankan Minke.
Lupakan sangsi terhadap Hanung Bramantyo yang cenderung meromantisasi sejarah dan tragedi.
Lupakan tentang betapa imajinasi anda terhadap Bumi Manusia buyar oleh film berdurasi 3 jam ini.
Tonton sajalah, anda bisa berkomentar nanti.
Film
dibuka dengan extreme close up Minke, dan
diakhiri dengan Minke yang tenggelam dalam dekapan Nyai Ontosoroh, menangis. Apa
saja yang terjadi sejak Minke membuka mata hingga hampir tersungkur di rumahnya
sendiri? Ya, kalau diceritakan sih, tidak cukup 500 kata di review kali ini.
Singkat kata, Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies, mewakili kata perlawanan,
perjuangan, dan penerimaan nasib.
Minke
yang sedang menyelesaikan studi di Hogere Burger School (H.B.S.), menunjukkan bakat menuangkan pikiran
briliannya ke dalam artikel yang dikagumi khalayak dan kerap dimuat di surat kabar Belanda.
Dengan nama pena Max Tollenaar, ia mengkritisi ketimpangan sosial antara Eropa,
Indo, dan bumiputera di Soerabaja, di mana pribumi selalu berada ‘di bawah kaki’ Eropa
dan ‘dipaksa berjongkok’ di belakang Indo. Menjadi tamu di rumah sendiri,
itulah titik awal perlawanan Minke terhadap kolonialisme Belanda yang mewarnai
keseluruhan plot film ini.
Hingga
suatu hari Minke dan Robert Suurhorf temannya, mengunjungi Boerderij Buitenzorg,
perkebunan dan peternakan luas milik Herman Mellema yang dikelola oleh Nyai
Ontosoroh, gundiknya. Kunjungan tersebut mempertemukan Minke dengan Annelies
Mellema, Indo yang bertekad hidup sebagai pribumi. Buitenzorg menjadi saksi
cinta yang bersemi antara dua sejoli, di tengah konflik antarkelas sosial tak
berkesudahan dan penindasan pribumi. Nyai Ontosoroh mendukung penuh kedekatan Minke dan Annelies, yang
ia anggap sebagai harapan atas kehidupan lebih baik bagi Annelies. Pun dengan
pemikiran progresif Minke terhadap situasi sosial dan pengelolaan bisnis, Nyai
Ontosoroh perlahan mulai simpati dan menganggap Minke seperti anak sendiri.
Di
balik kehidupan serba cukup yang dijalani Nyai Ontosoroh, tersimpan beban
pengorbanan di masa lalu, yang membawanya dari kehidupan sederhana gadis kampung menuju kehidupan aristokrat nyonya perkebunan dan peternakan
mahsyur Mellema, hingga terseret ke pengadilan tanpa keadilan yang membuatnya terpisah dari
keluarganya sendiri, sekali lagi. Nyai Ontosoroh, menurut saya merupakan peran
sentral yang menjembatani ketimpangan kelas sosial dan kolonialisme Belanda yang diceritakan di Bumi Manusia. Apresiasi tinggi bagi Sha
Ine Febriyanti yang berhasil mendapatkan dan menghidupkan peran impiannya
sebagai Nyai Ontosoroh. Ia tak hanya berakting, tetapi juga hidup sebagai Nyai
Ontosoroh selama proses syuting. Real.
Masih
segar di ingatan saat Nyai Ontosoroh menampar Robert Mellema anaknya, karena
Robert tidak menuruti perintahnya untuk mencari Minke. Ia tak hanya menampar
sebagai ibu yang kecewa, tapi juga sebagai wanita yang terinjak harga dirinya
karena dianggap rendah oleh anak Indonya. Sekuen tersebut kabarnya diulang
hingga 30 kali, demi mendapatkan kesan sungguhan antara Nyai Ontosoroh (Sha Ine
Febriyanti) dan Robert Mellema (Giorgino Abraham). Atau ketika Nyai Ontosoroh
diadili oleh hukum Eropa, ia yang terkesan anggun, penyayang, dan bijaksana selama
durasi film berjalan, mampu menunjukkan kemarahan, kesedihan, dan ketegaran di
akhir cerita. Saya terpukau dengan atmosfer emosional dalam adegan pembelaan
Nyai Ontosoroh terhadap nasibnya sebagai seorang gundik dari Herman Mellema
sekaligus ibu kandung Annelies Mellema. Belum pernah saya melihat seorang ibu
begitu terpuruk dan tak berdaya demi keluarganya seperti Nyai Ontosoroh dalam
adegan tersebut.
Bagaimana
dengan Annelies? Bunga Penutup Abad dari Buitenzorg itu tak hidup lebih baik.
Ia lahir dari tempaan dan kesedihan, lalu hidup dengan beban dan nasib yang tak
bisa ia tentukan. Jika ada yang berpendapat Mawar Eva de Jongh tidak sesuai
memerankan Annelies, silakan. Tetapi menurut saya, yang baru saja mengenal
kedua nama tersebut saat menonton filmnya, Mawar Eva de Jongh adalah Annelies
di kehidupan nyata. Pertama karena keduanya berdarah Belanda-Indonesia. Kedua,
mereka memiliki sisi melankolis dilihat dari sorot matanya. Apakah Mawar
berhasil memerankan Annelies? Saksikan saja Bumi
Manusia, semoga anda tabah menyaksikan Annelies menangis tanpa bisa berbuat
apa-apa.
Oh,
jangan lupakan Iqbaal Ramadhan yang kuat dengan persona Dilan. Jika sebelumnya
ia terkenal dengan rayuan gombal picisannya kepada Milea, sikap angkuh sok
tangguh dengan wajah baby face-nya,
dan sikap memberontak terhadap Suripto gurunya, well, anda akan melihat akting serupa di Bumi Manusia. Setidaknya itu pendapat saya sebelum 30 menit
terakhir film.
Saya akhirnya menyadari, akting Iqbaal Ramadhan sebagai Minke di Bumi Manusia berada di level berbeda. Saya melihat Minke mengamuk, pasrah, dan kalah atas perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda, bermodal mesin tik dan pena. Saya juga melihat Minke berwibawa di mata Eropa lewat pidatonya, untuk kemudian bersimbah air mata, dan kehilangan seseorang yang selama ini ia perjuangkan sepenuh jiwa dan raga, Annelies Mellema. Jika Minke menganggap dirinya kalah, maka Iqbaal telah menang. Iqbaal Ramadhan berhasil membuktikan bahwa ia mampu memerankan Minke dengan sekuat-kuatnya dan sehormat-hormatnya.
Saya akhirnya menyadari, akting Iqbaal Ramadhan sebagai Minke di Bumi Manusia berada di level berbeda. Saya melihat Minke mengamuk, pasrah, dan kalah atas perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda, bermodal mesin tik dan pena. Saya juga melihat Minke berwibawa di mata Eropa lewat pidatonya, untuk kemudian bersimbah air mata, dan kehilangan seseorang yang selama ini ia perjuangkan sepenuh jiwa dan raga, Annelies Mellema. Jika Minke menganggap dirinya kalah, maka Iqbaal telah menang. Iqbaal Ramadhan berhasil membuktikan bahwa ia mampu memerankan Minke dengan sekuat-kuatnya dan sehormat-hormatnya.
Film Bumi Manusia juga menyiratkan pesan bahwa semua manusia setara, warna kulit dan bahasa tak menghalangi mereka untuk duduk bersama. Bahwa Jawa tak melulu kolot, dan Eropa tak selamanya mendominasi strata sosial masyarakat. Bahwa kasih ibu sepanjang masa, dan cinta seharusnya mampu mengikis dinding perbedaan dan menguatkan kita saat dihadapkan dengan segala ketidakmungkinan.
Duh, siapin tisu pokoknya.
Secara
keseluruhan, film Bumi Manusia adalah film yang bagus, dibuat dengan hati dan
kurasi tinggi, oleh sederat sineas ternama tanah air. Sebut saja Salman Aristo yang berulang kali diminta Hanung Bramantyo untuk menulis naskah Bumi Manusia, dan Ipung Rachmat Syaiful dengan tangan dingin sinematografinya. Scoring sangat mendukung suasana. Ditambah dengan lantunan lagu "Ibu Pertiwi" persembahan Iwan Fals, Once Mekel, dan Fiersa Besari sebagai pembuka dan penutup film. Properti dan tata artistik benar-benar total, walaupun masih ada kurangnya, karena toh, tidak ada yang sempurna di dunia. Satu hal yang pasti, Indonesia patut bangga pada Bumi Manusia.
Meskipun kalau saya boleh berharap, Bumi Manusia (2019) akan memiliki versi serupa 12 Years A Slave (2013). Lebih intens, lebih objektif, dan lebih fokus menggambarkan konflik sosial serta adaptasi sejarah sebagaimana mestinya.
Jangan lewatkan penampilan Giorgino Abraham (Robert Mellema), Bryan Domani (Jan Dapperste), Jerome Kurnia (Robert Suurhorf), Doni Damara (ayah Minke), Ayu Laksmi (ibu Minke), Whani Darmawan (Darsam), Chew Kin Wah (Babah Ah Tjong), Hans de Kraker (Jean Marais), Ciara Brosnan (May Marais), Peter Sterk (Herman Mellema), Jeroen Lezer (dr. Martinet), Dewi Irawan (Mevrow Telinga), Robert Prein (Maurits Mellema), Kelly Tandiono (Maiko), dan Christian Sugiono (Kommer).
Bumi Manusia tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai 15 Agustus 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar